Selasa, 01 Juni 2010

kalimat seram yang tak lagi mengerikan

Anas jadi merasa bersalah karena sering ‘memata-matai’ di mana suaminya meletakkan handphone maupun laptop. Ternyata, suaminya lebih memperhatikan laptop daripada handphone-nya. Ke mana pun dia melangkah, laptop ikut serta.

Tidak demikian dengan handphone, padahal dengan posisinya sebagai humas di sebuah BUMN pastilah telepon memegang peranan sentral terkait pekerjaannya itu.

Selama berada di rumah, suaminya membawa laptop nyaris kemana pun dia melangkah.

Dari sudut matanya, Anas dapat melihat laptop itu tergeletak di atas meja kecil tak jauh dari tempat tidurnya. Perasaan tak nyaman menyergap dirinya setiap kali menatap benda berwarna hitam berlogo ‘buah dari pohon pengetahuan’ itu.

Perkawinannya dengan Piet sudah lebih dari 10 tahun dan mereka memiliki dua anak yang sehat dan pandai. Perfect! Tapi kehidupan penuh dengan dinamika dan kejutan. Kesempurnaan bukan ukuran yang sahih untuk menyimpulkan perkawinan mereka akan bertahan selamanya. Contohnya terlalu banyak.

“Jangan sampai…” Anas membatin. Dia tak berani meneruskan kalimat itu.

Pikirannya menerawang pada berita pembunuhan oleh seorang petinggi organisasi sepakbola terhadap istrinya, di kamar tidur mereka, menggunakan laptop…

Kekerasan terhadap perempuan memang paling banyak berupa kekerasan rumah tangga, yakni 96% dari hampir 144.000 kasus tahun lalu. Tragis. Rumah dan keluarga yang seharusnya menjadi tempat berlindung bagi perempuan bisa menjadi killing field-nya yang paling brutal.

Menurut Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2009 naik tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Dalam catatan berjudul ‘Tak hanya di rumah: Pengalaman perempuan akan kekerasan di pusaran elasi kekuasaan yang timpang” itu Komnas juga menyoroti peningkatan kekerasan negara terhadap perempuan, dalam bentuk perda yang mengekang ruang gerak kaum hawa.

Sepanjang tahun lalu pemerintah mengeluarkan 13 peraturan daerah dan 11 rancangan perda yang berpotensi diskriminatif terhadap perempuan. Janji kampanye Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan program 100 hari pemerintah terbukti tak menyentuh perlindungan terhadap perempuan, tandas Komnas.

Namun tak semuanya berita suram. Bagaimanapun, pemerintah telah mengamendemen UU Kesehatan menyangkut hak reproduksi perempuan, ada Peraturan Kapolri No. 8/2009 tentang implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas Kepolisian, serta kesepahaman lembaga-lembaga negara terkait pelaksanaan perlindungan hak asasi. Telah menjadi standar internasional bahwa perlindungan hak asasi perempuan merupakan bagian dari perlindungan hak asasi manusia secara utuh.

Ketentuan hukum di negeri kita ini tak terhitung banyaknya dan sudah mencakup banyak hal, tetapi masalah yang muncul selalu sama, berasal dari lemahnya implementasi di lapangan. Begitu pula dalam hal perlindungan terhadap perempuan. Sementara di tataran masyarakat, dekonstruksi masyarakat patriarkis membutuhkan waktu yang panjang dan perjuangan yang tak kenal lelah.

Mestinya ada cara yang lebih sederhana daripada peraturan hukum yang pembuatannya pasti makan waktu dan juga uang karena melibatkan parlemen-ingat bagaimana calon pejabat menyogok anggota DPR sampai miliaran rupiah supaya rencananya gol.

Ada kesamaan dalam praktik hampir semua agama, yakni mengulang-ulang kata-kata yang dianggap dapat bertuah baik, yakni kata-kata yang positif.

Ada kepercayaan timur yang mengatakan bahwa setiap kata yang keluar dari mulut manusia akan ‘kembali’ kepada dirinya sendiri, seperti gaung suara yang memantul di dinding.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan didirikan pada 1998, tepat setelah terjadinya Tragedi Mei tahun itu yang memakan korban ratusan perempuan etnis Tionghoa tewas secara mengenaskan. Untuk mempermudah, nama itu disingkat menjadi Komnas Perempuan. Itu terdengar jauh lebih baik.

Pengulangan kata ‘kekerasan’ secara terus-menerus hanya akan membuat maknanya tergerus. Orang yang mendengarnya akan merasa biasa saja, tak ‘berat’ secara moral. Lihatlah kalimat seram ini: Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin, dan orang tetap saja merokok dengan nikmatnya.

Kesadaran atas dampak negatif dari pemakaian frasa kata sudah lama ada. Gerakan antiperang marak di seluruh penjuru dunia, tapi perang malah makin menjadi-jadi. Sebagai alternatifnya muncul gerakan mendukung perdamaian. Peace!

Contoh lain, beberapa orang yang sudah tak tahan dengan tingkat kebisingan di Jakarta bersepakat mengadakan gerakan untuk menghentikannya. Ketika sampai pada pembahasan tentang moto gerakan, terjadi kemandekan.

Ada yang mengusulkan moto ‘Mari menjaga ketenangan’ tetapi ini multitafsir. Kalimat seperti itu juga ada di ruang tunggu dokter, yang artinya jangan berisik, kasihanilah orang sakit.

Padahal yang dimaksudkan dengan kebisingan di sini adalah volume suara kendaraan bermotor yang sudah sedemikian tingginya sehingga membuat kehidupan di Ibu Kota jauh dari nyaman.

Lalu ada usulan: Mari membuat Jakarta tenang. Lagi-lagi ini pun bisa dimaknai lain, yakni Jakarta yang bebas dari demonstrasi, perkelahian antarpermukiman atau bentrokan memperebutkan lahan.

Setelah berkali-kali rapat dengan perdebatan yang cukup seru, moto yang dipilih akhirnya adalah: Setop Bising, dengan banyak tanda seru…sebuah moto yang pada dirinya sendiri telah mengandung kebisingan. (huberta.linda@bisnis.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar